Oleh : Umm Aiman
Awal
ketertarikanku untuk melanjutkan belajar ke Tareem ini adalah ketika aku belajar
disebuah pesantren di Bangil Pasuruan, beberapa seniorku yang pulang dari sana
memberi kesan mendalam, aku yang waktu itu masih berumur 15 tahun sangat
mengidolakan kakak-kakak yang lebih dahulu berangkat, jiwa dakwahnya yang
menyentuh hati dan amaliyah kesehariannya menjadi salah satu motivasi untuk
belajar disana, di samping figure Habib Umar bin Hafizd seorang da’I kondang
dari hadramaut membulatkan tekadku untuk segera belajar kesana setelah lulus
dari madrasah Aliyah.
Akhirnya pada
tahun 2000 tepat usiaku menginjak 16 tahun aku berangkat bersama rombongan yang mempunyai tujuan yang sama menuju Tareem
sebuah desa kecil di propensi Hadramaut.
Pagi hari ketika kami keluar dari bandara
Internasional di San’a, menuju Bis untuk melanjutkan perjalanan ke Tareem angin
dingin menerpa tubuh kami, sangat dingin karena waktu itu sedang musim dingin
sehingga baju yang kami pakai terasa
basah, disana musim dingin akan terasa sangat dingin, dan musim panas begitu
juga, jam 6 pagi kami berangkat dan sampai di Tareem sekitar jam 7 malam,
hampir setengah hari perjalanan, karena bandara Seiwun waktu itu belum
dibangun.
Ketika
memasuki Tareem, ada pemandangan baru yang tidak lazim kami lihat di Indonesia yaitu para wanita yang keluar
rumah semuanya memakai penutup wajah atau yang mereka sebut khimar, dan
pakaian yang dikenakan juga berwarna hitam, sehingga siapapun pelancong yang
datang kesana harus memakainya untuk beradaptasi, dan alhamdulillah kami
sebelumnya sudah mempersiapkannya.
Setiap kali
kami berpapasan dengan penduduk yang sejatinya tidak mengenal kami mereka akan
unjuk salam terlebih dahulu, kemudian sambil berlalu terdengar tasbih, tahmid
yang mereka baca perlahan, ya,hampir semua penduduk Tareem dari awamnya sampai
ulamanya gemar berzdikir, dan apabila kita bertandang ke rumah mereka sambutan
hangat bak keluarga jauh yang lama tak berjumpa, akan sangat terasa.
Yang sangat berkesan
adalah ketika kami tinggal di sebuah dar yang biasa kita sebut
pesantren, Dar al Zahra’ khusus untuk banat ( putri) dan Dar
al Musthafa untuk awlad ( putra), disana kita dilatih untuk
disiplin dan pandai membagi waktu, jam 3.30 pagi, kami sudah bangun untuk
melaksanakan sholat tahajud, disusul dengan pembacaan wirid hingga menjelang
azdan subuh, kemudian setelah sholat shubuh membaca wirid lagi hingga isyraq
( matahari terbit), walaupun aku di pondok sebelumnya sudah terbiasa
bangun malam namun awalnya terasa berat dengan rutinitas ini, hingga pernah
suatu ketika mata sudah tidak bisa diajak kompromi aku rela ngumpet di belakang
pintu kamar mandi sekedar untuk tidur, ku
pikir dari pada seperti temanku yang dahinya hampir terantuk ke lantai
gara-gara nahan ngantuk. disana kita juga banyak mengenal teman-teman dari
manca Negara, seperti Thailand, singapore, Malaysia, Amerika, Britania, Sweden,
Australia, Oman dll. Kami dilatih untuk punya gairah dakwah, dengan kita
berdakwah berarti kita menjadi penyambung lisan Rasulullah saw, dan itu adalah
salah satu jalan cepat membawa kita dekat dengan Allah SWT, begitulah nasehat
yang kala itu mampu memotivasi kita untuk tetap semangat, dan lagi di Tareem
tidak akan terdengar nyanyian-nyanyian pop, rock, dan sebagainya, bagi mereka
mendengarkan lagu-lagu ini adalah sebuah aib sehingga yang selalu terdengar
adalah qasidah dan nasyid yang memuji Allah dan RasulNya.
Model rumah penduduk Tareem hampir sama, seperti
apartemen, ketika mereka membangun rumah, bagian atas rumah akan dibangun
dengan model yang sama untuk anak lakinya ketika dia menikah, dan dibangun lagi
diatasnya jika punya putra yang lain, sehingga satu bangunan itu bisa di isi
tiga sampai empat keluarga.
Gadis-gadis
Tareem sangatlah pemalu, beberapa tahun kami bersama di Dar al Zahra’ sekalipun
tidak pernah melihat mereka mengurai rambutnya, apalagi CDnya, ntah dimana
mereka menjemurnya ketika mencuci, ketika dengan tidak sengaja melihat CD salah
satu dari kami, dengan segera dia menutup matanya seraya berucap
astaghfirullah….hem, kenapa dia yang malu ya…..
Di sela-sela
belajar, kami akan diajak untuk ziarah ke makam para auliya’ dan ulama’ yang
kitab-kitabnya sering kami telaah, seperti Imam Abdullah al Haddad, al Fagih al
Mugaddam dll, makam para pemuka Ba’alawi ini terdapat di Zanbal, bagi kami
ziarah kubur ini hanya sebatas mendoakan dan kemudian berkah dari doa itu akan
kembali kepada orang yang mendoakan, seorang kekasih akan tetap menjadi kekasih
baik hidup ataupun mati, kami berharap Allah akan mencintai kami sebab kami
mencintai kekasih-kekasihNya, dan
biasanya guru kami akan membacakan biografi dan riwayat hidup dari syekh yang
kami ziarahi untuk diambil teladan.
Untuk kami banat dar zahra’, disediakan fasilitas
kendaraan berupa bis, mobil, dll, dan semua fasilitas yang berada dalam pondok
seperti air, listrik, isi dapur, gratis.
Pada bulan
sya’ban penduduk Tareem akan berbondong-bondong pergi ke daerah yang disebut
wadi Ahqaf yang mana disana terdapat makam Nabi Hud as, dan disana juga
terdapat sungai dan kami biasa mandi disana, konon airnya berkhasiat. Ajibnya, Tareem
ini adalah daerah padang
pasir, yang sekilas nampak gersang akan tetapi air disana tidak pernah kering
dan bahkan melimpah ruah.
Pada bulan ramadhan nuansa rohani akan terasa
kental sekali, mereka akan sangat pelit dengan waktu, apalagi hanya untuk
tidur, dalam shalat taraweh saja mereka bisa menghatamkan alqur’an dua kali
dalam sebulan, di indonesia kita melaksanakan sholat taraweh paling lama
setengah jam, akan tetapi disini kita bisa menyelesaikannya minimal dua jam,.
dan subhanallah masjid-masjid akan selalu ramai dan jama’ahnyapun membludak, dan
di luar sholat mereka akan berlomba-lomba menghatamkan al qur’an, sehingga yang
hanya menghatamkan sekali sangat sedikit, untuk menyambut bulan ramadhan
biasanya kami sudah ada relawan pembuat kopi untuk mengusir kantuk.
Penduduk
Tareem akan cepat akrab dengan orang indonesia, mereka menyebut semua orang
indonesia dengan jawiyyun yang berarti orang jawa, bahkan beberapa bahasa yang
mereka pakai adalah bahasa indonesia seperti bedak, mereka menyebutnya budda’,
dan menurut beberapa literature yang aku baca penyebar Islam di Indonesia
berasal dari tareem sebutlah misalnya wali songo kecuali sunan kali jaga, jika
ditelusuri nasab mereka akan bersambung kepada ‘Ammu al Faqiih paman dari al
Faqiih al Muqaddam.
Adapun hal
unik di kota ini adalah pasar, pasar hanya akan diisi oleh pria semua atau
perempuan semua, jika kita memasuki pasar khusus wanita maka kita tidak akan
melihat seorang lelakipun disana, begitu juga sebaliknya, untuk kuliner kita
juga bisa mendapatkan beberapa masakan indonesia seperti bakso ,tekwan dll.
Yang terkenal
dari tareem ini adalah madu, kualitas madu tareem berbeda dari madu-madu yang
lain, di tempat lain seperti di mesir
harga madu hadramaut relative lebih mahal daripada madu-madu yang lain,
karena kualitas dan khasiat yang terkandung di dalamnya, biasanya jama’ah haji
akan memborong madu ini dari pelajar yaman.
Tareem adalah
tempat wisata rohani, disana seakan kita hidup di zaman Nabi saw, tidak sedikit
orang yang pernah kesana akan rindu untuk kembali kesana. Hampir tiga tahun aku
disana menimba ilmu dan akhlak, pada tahun 2003 setelah Allah mentakdirkan aku
dan beberapa teman menunaikan haji, kami pulang ke indonesia.